Thursday, August 19, 2010

DI PERANTAUAN RAMADHAN YANG MENUAI GUNDAH

Begitu masuk bulan Ramadhan, istriku mendadak resah gelisah, meneteskan air mata, sambil ujarnya
"Pa..?masihkah kita akan terus dijakarta, dah terlalu lama pa, kita di rantau orang ini, apa papa gak kasihan mama, mama rindu ayah, adik adikku,kampung halaman". Akupun kaget bukan main mendengar nada
sapaan istriku, memelas, mengiba, wajahnya sendu, dan air mata yang menetes dipipinya. Apa artinya bulan ramadhan dimata istri, terlukis jelas, bahwa istriku memahami makna ramadhan itu mudik lebaran kekampung halaman.

Namun sela.. ku "Ma hati siapa yang tak rindu kampung halaman, hati siapa yang tak ingin bercanda dengan saudara sekandung,kita ingin ma menikmati lebaran di Kampung". Kataku berusaha meredakan kesedihan yang terukir diwajahnya. " Maa do'akan papa, kalau Allah mengizinkan kita pasti pulang, mama jangan cengeng gitu ya..?? Akupun tak mampu menahan air mataku, turut berduka, sedih melihat istriku bersedih.Bedanya, aku masih bisa berpikir bahwa aku lagi puasa, menunaikan perintah puasa perlu kesabaran, tidak terlena dengan senda dan airmata, kendati keinginan dan rindu menebar selaksa rasa tuk menuai bahagia bersama, dengan lafadh lafadh takbir di kampung halamanku nanti..hiks...hiks..


Bayangan untuk mudik sih pasti ada, terlebih
sudah tiga tahun aku gak pernah pulang kampung, sejak aku kembali dari
Pulau Dewata Bali, dan terus tinggal di Jakarta, mengundi nasib,berlomba mencari berkah di Jakarta, bersaing dengan waktu yang terlalu cepat untuk dikejar.
Waktu selalu tega membiarkan aku dan istriku mendekam dalam harapan mulya, menenun cita yang jauh di mata. Impian demi impian hidup mewah , meraih cita dan kebahagian terlampaui oleh waktu. tiga kali bulan puasa tiba, dua kali bulan haji datang, dan uban yang kian banyak di kepala , Jakarta, lahan subur kaum pemburu uang belum juga memberikan jasa perjuanganku
Mungkin Ramadhan sekaranglah saatku menuai untung, saatku memenuhi janji - janjiku pada istriku, anak anaku yang menanti setia janjiku,sepasang baju lebaran, sepasang sepatu, sehelai selendang, gaun muslimah, dan setumpuk harapan lainnya tuk bekal mudik kekampung halaman.

Sedangkan keberadaanku di Jakarta masih berlinang kesengsaran,arah perjuangan hiduppun tak tentu rimbanya, segala cara dan usaha tak terhitung banyaknya, sedangkan kegagalan selalu menyapa. Masihkah Puasaku bisa membawaku berhasil mengejar cita, masihkah puasa kumenjanjikan lagu lagu surga, masihkah tarawehku berkenan menyuratkan kepastian masa tuaku, masihkah sedekahku berharga dimata Tuhanku, sehingga Allah melapangkan jalan seluruh keinginanku,keinginan Istriku, keinginan anak anakku. Belum lagi orang tuaku dirumah, mertuaku, sahabatku, saudaraku, semua menati kabar keberhasilanku.

Puasa ramadhan, bulan ini, bagiku menjadi distinasi terakhir dari doa doaku.Lapar dan dahagaku disiang bolong bisa menjadi media segala harapanku untuk membawa pulang kemenangan untuk semua orang yang mencintaiku. Taraweh kubisa menjadi perantara cita citaku yang tersirat di dada. " Tuhanku,kalau ramadhan ini banyak kisah perjalanan hidupku yang kurang berkenan pada-Mu. Mestikah aku harus menelan ludah bersama istri- istri dan anak anakku di Jakarta ini. Hingga kapankah perkenan dan rahmat-Mu harus aku tunggu?,.
Ya Allah Hamba-Mu ini hanya sosok manusia yang dalam kendali-Mu, tidak pernah tahu hari esok itu apa masih ada buatku,tidak pernah tahu akhir dari hidupku, Ya Allah kalau Engkau berkenan padaku, lapangkanlah jalan pasti menuju cita citaku .

Ya Allah, Ya Rabbi Yang Penuh Pujian Atas-Mu. Puasaku adalah kewajiban dari-Mu, aku mampu menahan laparku dan nafsuku lebih dari yang Engkau inginkan sesuai ketentuan nabi-Mu. Namun tangis istriku, keluh kesah anak anaku menebar iba didalam hati yang merindukan-Mu. Harapan semua orang dikampungku, sedang menanti kehadiranku dengan baju kebesaran seorang perantau, sedangkan aku dengan perintah-Mu senantiasa mendandani puasaku dengan keikhlasan. Keikhlasanku Ya Allah telah menghiasi Puasaku, tetapi rintihan hati diluar hidupku menuntut pamrih dari-Mu".Itu belitan kasih dibulan ramadhan, memaksaku terlena dalam buian tangis dan perih hati para istri, disamping impian anak anaku menjelang lebaran nanti...

Kemelut hati yang dirundung sedih di bulan ramadhan ini amat terasa mencabik cabik dadaku, terutama sebagai seorang suami, seorang ayah.Yang di Rundung kesedihan itu menamparku. Namun istriku tidak salah, karena mereka menuntut haknya sebagai istri. Rasa ingin sama dengan orang lain itu pasti ada, sama sama perantau di kota besar, bukan tidak banyak kisah tentang keberhasilan para pemudik lebaran mengantongi uang banyak, membawa oleh oleh yang memenuhi ruangan bagasi mobilnya. Ketika tiba di kampung halaman, disambut sanak saudara, sambil mereka bertanya, kerja apa gerengan di Jakarta. Setahun kerja dijakarta membawa berlipat lipat barang bawaan, pasti kerjanya enak di Jakarta,itu gambaran orang kampung halaman, sehingga ketika kembali kejakarta,para pemudik nambah anggota keluarga, membuktikan, betapa kerasnya kota Jakarta...

No comments:

Post a Comment